Selasa, 04 Januari 2011

Saya dan Orang Miskin

. Selasa, 04 Januari 2011

“GUE sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Polos dan spontan kluar dari mulutnya.Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.

“Nanti, kalo gue pengen belanja, Gue tinggal menggeseknya.”ucapnya bangga.
Diam-diam saya suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk bengong sendiri, sementara anak-anaknya yang dekil dan kumel bermain riang dilapangan me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” batinnya berujar.

Suatu sore, saya melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Saya dengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”

“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.Mereka pun tertawa.Saya selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang turun-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.

Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”

Saya dengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

Pernah suatu hari , dengan malu-malu, ia berbisik kepada saya. “Kadang bosan juga gue jadi orang miskin. Gue pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Gue pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Lo tahu kan, gak perlu lucu jadi pelawak. Cukup modal tampang bego dan mau dihina-hina.”

“Lalu kenapa lo gak jadi pelawak aja?”

Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Gue kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi gak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”

Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka menghibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang gak pernah bisa membuatnya tertawa.


Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.

“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”

Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.


Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepada saya. “Gue punya kolega orang miskin yang gue kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”

“Wah, hebat banget!” ujar saya. “Semua kuliah, ya?”

“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”



Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Gue pengen mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya gue gak pengen mereka jadi pengemis!”

Tapi, seringkali saya perhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.



Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundak saya. “Kalau lo miskin, lo akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yai lo sepanjang hidup. Lo bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi Lo nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.

Saat-saat seperti itulah, diam-diam, saya suka mengamati wajahnya.


Wajah orang miskin itu mengingatkan saya pada wajah yang selalu muncul setiap kali saya berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggoda saya dengan gaya badut paling lucu yang gak pernah buat saya tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakan saya, aku selalu pura-pura gak melihatnya.

Pernah, suatu malam, saya melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatiin. Ketika saya terus diam saja, saya lihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.

Sejak itu, bila saya berkaca, saya kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.

Ada saat-saat di mana saya perhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Gue sedih bukan ka­rena gue miskin. Gue sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar gak kliatan tampak miskin.”

Entah kenapa, saat itu mendadak saya merasa ki­kuk dengan penampilan saya yang perlente.

Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.


“Gak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Cuma orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang gue udah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”

Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman a­ja yang gak mau berponsel. Tapi saya tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mah saya sambil menenteng telepon genggam.

“Orang yang sudah resmi miskin kayak gue, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”

Padahal ponsel itu gak ada pulsanya.

Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.

Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anak gue gak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”

Ia mengajak saya merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya saya ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra saya cuma memandanginya.

“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinan gue,” katanya. “Karena gue telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau elo yang membayar semuanya.”

Sambil bersiul ia segera pergi.

Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.

Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sembuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.

Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini gak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya gak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau lu semua gak pernah sakit? Gak baek orang miskin selalu sehat.”

Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.



Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.

Suatu sore yang cerah, saya melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batin saya. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.

“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”

Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.

Ia tenang anak-anaknya gak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Lo tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”

Takdir memang selalu punya cara yang Gak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.

Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya gak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.

Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.

Sejak peristiwa itu, saya perhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.

“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati a­ja pake nipu.”

“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”

“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”

“Kalian tahu, kenapa dia gak jadi mati? Kare­na neraka pun gak sudi menerima orang miskin kayak dia!”

Orang-orang pun tertawa ngakak.

sekedar iseng post at: http://vhauzie0611.blogspot.com

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

perlu kritikan silahkan isi disini ya

 

lorem ipsum 8

lorem ipsum 9

YOUR BLOG TITLE is proudly powered by o-om.com | Modif by BLOG SulthanYusuf